KHĀ Blog

Di Kunci Hidup, kami berdedikasi untuk membantu kamu membuka potensi penuh dari pikiran, tubuh, dan jiwa. Melalui ajaran transformatif kami, kami membimbing kamu untuk terhubung lebih dalam dengan diri sendiri, melepaskan keyakinan yang membatasi, dan merangkul kehidupan yang penuh kelimpahan dan tujuan. Setiap artikel di blog ini dirancang untuk menginspirasi, mendidik, dan memberdayakan perjalananmu menuju penemuan diri dan pertumbuhan pribadi.

Cara Mengidentifikasi Pemicu Emosi

emosi Mar 12, 2023

Jadi ceritanya kita sedang ngobrol santai sama teman kita semuanya baik-baik saja sampai tiba-tiba– BAM! Tekanan darah kita naik, kita mulai terengah-engah, dan kita merasa seperti ingin mencekik atau menyakiti orang lain. Istilahnya senggol bacok mode on.

Apa yang baru saja terjadi adalah bahwa kita terpicu/ke trigger

Biasanya ketika kita merenungkan kembali atau merefleksikan situasi tadi kita akan menyadari betapa tidak proporsionalnya kemarahan kita, dan betapa anehnya reaksi kita yang terasa tidak nyaman.

Hampir semua orang memiliki semacam pemicu atau "tombol senggol bacok", yang, ketika didorong atau dipencet, membuat kita menjadi marah-marah, bermusuhan, berperilaku ketakutan atau penuh kebencian. Namun, sebagian dari kita lebih terampil menangani pemicu ini daripada yang lain.

Jika kita sedikit-sedikit mudah marah dan tersinggung ibaratnya sumbu pendek mudah meledak itu artinya kita memiliki masalah seputar hal ini.

Apa itu Pemicu Emosional?

Kita mungkin pernah mendengar istilah tentang "pemicu" atau "trigger" sebelumnya. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan dipicu? Pemicu emosi adalah orang, kata-kata, pendapat, situasi, atau situasi lingkungan yang menyebabkan reaksi emosional yang intens dan berlebihan dalam diri kita. Emosi umum yang kita alami saat dipicu termasuk kemarahan, ngamuk atau murka, kesedihan, dan ketakutan. Hampir semua hal dapat memicu kita, tergantung pada keyakinan kita, nilai-nilai yang kita adopsi, dan pengalaman hidup sebelumnya seperti nada suara, tipe orang, sudut pandang tertentu, satu kata – apapun bisa menjadi pemicu.

Tiga alasan utama kenapa kita memiliki pemicu emosional ;

Keyakinan dan nilai yang berlawanan– Ketika kita sangat teridentifikasi dengan keyakinan tertentu, kita mungkin merasa sulit untuk bersikap toleran terhadap keyakinan lain yang berlawanan. Misalnya, ada alasan mengapa agama menjadi topik pemicu bagi begitu banyak orang: kepercayaan memberi kita rasa aman dan nyaman, dan ketika ditentang, kita merasa (dari sudut pandang emosional dan psikologis) seperti hidup kita sedang dipertaruhkan dan kita merasa dalam bahaya. Ketika orang lain tidak setuju atau menentang nilai-nilai kita, kita terpicu karena mereka mempertanyakan kebenaran dan legitimasi dari apa yang kita sayangi.

Trauma – Menjadi “terpicu” adalah istilah yang ditelusuri kembali ke pengalaman gangguan stres pasca-trauma (PTSD) yang sering dialami oleh tentara yang kembali dari perang. Saat kita terpicu karena pengalaman traumatis masa lalu, reaksi kita seringkali berupa ketakutan dan kepanikan yang ekstrem (atau dalam beberapa kasus, kemarahan). Kita terpicu saat melihat, mendengar, merasakan, menyentuh, atau mencium sesuatu yang mengingatkan kita pada keadaan traumatis sebelumnya. Misalnya, seorang korban perkosaan mungkin terpicu ketika dia melihat pria berjenggot karena pelakunya juga berjenggot. Seorang pria yang diserang oleh ibunya yang pecandu alkohol saat masih kecil mungkin akan terpicu setiap kali dia mencium bau alkohol. 

EGO – Ego adalah rasa diri atau “aku” yang kita bawa kemana-mana. Identitas buatan yang kita bawa ini terdiri dari pemikiran, ingatan, nilai budaya, asumsi, dan struktur kepercayaan yang telah kita kembangkan agar sesuai dengan masyarakat. Kita semua memiliki ego dan tujuan utamanya adalah untuk melindungi kita dengan mengembangkan mekanisme "perlindungan diri" yang rumit dalam bentuk keyakinan, cita-cita, keinginan, kebiasaan, dan kecanduan (hal ini untuk mencegah kita menghadapi apa yang paling kita takuti yaitu : kematian ego atau diri). Ketika ego kita ditantang atau disakiti oleh orang lain, kita cenderung terpicu/ketrigger. Dan kita pun akan berdebat, menghina, meremehkan, mencemarkan nama baik, menusuk dari belakang, sabotase, menyerang, dan bahkan membunuh (dalam keadaan ekstrim) orang-orang yang mengancam kelangsungan hidup ego kita. Satu-satunya cara untuk dibebaskan dari ego kita, untuk mengalami kematian ego secara permanen, adalah dengan melakukan pekerjaan batin yang mendalam, atau pencarian jiwa.

11 Tanda Kita Sedang Terpicu Secara Emosional

Jadi bagaimana kita bisa tahu kapan kita sedang dipicu/ketrigger? Ada beberapa pengalaman fisik dan emosional yang mungkin kita alami yang mungkin termasuk:

  • Gemetaran
  • Palpitasi/jantung berdebar
  • Perasaan tersedak atau kesulitan bernapas/menelan
  • Rasa panas
  • panas dingin
  • Pusing atau pingsan
  • Mual
  • Nyeri/tidak nyaman di dada
  • Perasaan detasemen / tidak nyata (dikenal sebagai disosiasi)
  • Berkeringat
  • Emosi yang intens, misalnya ; kebencian, rasa jijik, kemarahan, ketakutan, teror, kesedihan yang mengakibatkan perilaku melindungi diri seperti berteriak, berdebat, menghina, bersembunyi, menangis, atau bereaksi secara emosional.

Cara Mengidentifikasi Pemicu Emosional

Ketika kita tidak menyadari pemicu emosi kita, apalagi bagaimana cara menanganinya, hidup kita mengikuti jalan yang arahnya akan merusak diri sendiri. Pemicu/trigger yang tidak disadari menciptakan penderitaan dan kekacauan dalam kehidupan orang-orang.

Btw aku sendiri masih memiliki beberapa trigger baik itu kalimat atau hal-hal lain seperti suara dan bau wangi tertentu.

Mengidentifikasi pemicu emosi kita itu sangatlah penting karena tanpa menyadarkan apa yang memicu respons ekstrem dari kita, kita akan menjadi boneka yang terus-menerus dimanipulasi oleh emosi kita. Persahabatan kita akan tegang atau hancur, hubungan kita akan bergolak atau disabotase, dan hidup kita, secara umum, akan jauh lebih menyakitkan.

Jadi sangatlah bermanfaat untuk berupaya mengeksplorasi pemicu emosional kita. Semakin sadar kita, semakin sedikit kita akan dikuasai oleh kekuatan bawah sadar di dalam diri kita. Dan sebenarnya tidak sulit untuk mengeksplorasi apa saja pemicu kita. Bagian tersulit sebenarnya adalah berkomitmen pada proses.

Jadi berikut adalah beberapa cara sederhana untuk mengidentifikasi "tombol senggol bacok" kita:

  1. Perhatikan reaksi tubuh kita

Perhatikan adanya ketegangan otot, peningkatan detak jantung, rasa panas atau dingin, kesemutan, atau perubahan fisik apa pun yang secara umum menunjukkan kontraksi (atau secara fisik mundur dari apa yang kita alami). Ubah menjadi permainan: apa reaksi pertama yang dimiliki tubuh kita? Apakah tangan mengepal? Apakah pernapasan kita menjadi cepat dan terengah-engah (ngos ngosan)? Apakah wajah kita menjadi panas? Catat secara mental reaksi-reaksi ini dan bahkan tuliskan ke jurnal kita. Ingatlah bahwa reaksi fisik bisa tidak kentara hingga ekstrem – jadi jangan mengesampingkan apa pun.

  1. Perhatikan pikiran apa yang muncul di kepala kita

Carilah pemikiran ekstrim dengan sudut pandang terpolarisasi (yaitu seseorang atau sesuatu itu baik/buruk, benar/salah, baik/jahat, dll.). Kita tidak perlu melakukan hal lain selain menyadari pikiran-pikiran ini tanpa bereaksi terhadapnya. Biarkan mereka bermain dalam pikiran kita. Cerita apa yang dibuat pikiran kita tentang orang atau situasi lain? Saya sarankan untuk menuliskan pemikiran-pemikiran ini dalam jurnal kita untuk meningkatkan kesadaran diri kita.

  1. Siapa atau apa yang memicu emosi tersebut?

Setelah kita menyadari reaksi fisik kita, perhatikan siapa atau apa yang telah memicu respons fisik dan emosional yang ekstrem di dalam diri kita. Terkadang kita akan menemukan satu objek, kata, bau, atau kesan indra lainnya yang memicu kita. Di lain waktu, kita akan melihat bahwa kita dipicu oleh keyakinan, sudut pandang, atau situasi keseluruhan tertentu. Misalnya, pemicu kita dapat berkisar dari hal seperti suara keras hingga pria yang terlalu mendominasi dan berpendirian keras. Tidak hanya itu, tetapi kita mungkin memiliki serangkaian pemicu (kebanyakan orang memilikinya), jadi waspadalah dan terbuka untuk memahami seluruh spektrum hal yang membuat kita marah. Seperti biasa, penting bagi kita untuk mencatat pemicu ini dalam beberapa jenis jurnal (baik jurnal cetak atau digital). Menuliskan pemicu ini akan membantu memasukkannya ke dalam pikiran kita sehingga kita tetap sadar diri di masa depan.

Pelajari lebih lanjut tentang cara membuat jurnal.

  1. Apa yang terjadi sebelum kita terpicu?

Terkadang ada "prasyarat" tertentu untuk dipicu, misalnya, mengalami hari yang menegangkan di tempat kerja, bangun "di sisi ranjang yang salah", pergi ke tempat yang tidak nyaman (seperti mal), mendengarkan pertengkaran anak-anak. – hampir semua hal dapat menyebabkan kita terpicu/ketrigger. Saat kita mencoba mengidentifikasi pemicu emosional kita, sering kali kita dapat mencegah diri kita terpicu di masa depan hanya dengan memperlambat mengurangi intensitas pemicunya.

  1. Apa kebutuhan kita yang tidak terpenuhi?

Dipicu secara emosional selalu kembali ke tidak terpenuhinya satu atau lebih kebutuhan/keinginan terdalam kita. Luangkan waktu untuk memikirkan kebutuhan atau keinginan kita yang terancam:

  • Penerimaan
  • Otonomi
  • Keamanan
  • Seru
  • Konsistensi
  • Menghormati
  • Kedamaian
  • Prediktabilitas
  • Disukai
  • Menjadi Dibutuhkan
  • Menjadi Benar
  • Dihargai
  • Diperlakukan Dengan Adil
  • Berada Dalam Kendali (renungkan kebutuhan/keinginan apa yang terus-menerus muncul kembali).

Melihat dan menyadari tubuh, pikiran, kebutuhan/keinginan yang tidak terpenuhi, dan orang atau situasi tertentu yang membuat kita marah akan membantu mencegah kita 'memerankan' emosi kita nanti.

Apa yang Harus Dilakukan Setelah Kita Dipicu

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan saat kita terkubur dalam emosi ekstrim seperti kemarahan atau ketakutan, misalnya ;

Alihkan perhatian kita dari orang atau situasi tersebut dan fokuslah pada napas kita. Selama kita masih hidup, nafas kita selalu ada bersama kita – kuat dan dapat dipercaya, dan karena itu merupakan cara terbaik untuk bersantai. Tetap fokus pada nafas selama beberapa menit. Jika perhatian kita kembali ke orang atau situasi yang memicu, tarik kembali perhatian kita ke pernapasan kita, usahakan menggunakan teknik pernapasan perut kebetulan aku sudah bikin video tentang hal ini di Youtube channel Kunci HIdup

https://www.youtube.com/watch?v=5XQJ9YwuxxE&t=11s

Teknik yang berikutnya adalah teknik dari suamiku yaitu melihat ke langit atau atap atau pohon, intinya merubah postur badan kita terutama kepala kita menjadi mendongak/melihat ke atas. Jadi suamiku sering  sekali menggunakan teknik ini ke anak kecil yang menangis menjerit-jerit sedangkan orang tuanya bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan dan ketika beliau berhenti sejenak dan bilang ke si anak look up there, lihat diatas ada burung/balloon/awan makan seketika si anak akan menjadi tenang.

https://www.youtube.com/watch?v=HPNBejW5oSs&t=123s

Temukan humor dalam situasi tersebut. Aku tahu dan sadar betul bahwa mempraktikkan sugesti ini tidak mudah, tetapi sebenarnya tertawa terbahak-bahak akan meringankan persepsi kita. Tapi hal ini tidak bermaksud menertawakan, meremehkan, atau mengejek orang lain (atau diri kita sendiri). Sebaliknya, maksudku adalah melihat situasi secara keseluruhan dari sudut pandang mata burung dan menemukan kelucuannya.

Tanyakan pada diri sendiri mengapa kita terpicu. Pemicu emosional kita memiliki cara untuk membutakan kita, jadi untuk melawannya, kita harus menjadi ingin tahu,  seperti detektif untuk diri sendiri. Tanyakan pada diri sendiri, “Mengapa saya merasa sangat sedih/marah/cemas?” Memahami mengapa kita terpicu/ketrigger akan membantu kita mendapatkan kembali rasa tenang, kesadaran diri, dan kendali.

Jangan melewati atau meremehkan perasaan kita, tetapi jangan bertindak juga. Menekan atau mencoba untuk "mengendalikan" perasaan kita bukanlah jawabannya, namun kita dapat menunda emosi kita. Misalnya, jika kita merasa marah pada seseorang, daripada kita meledak di tempat dan marah pada mereka, secara sadar kesampingkan perasaan itu untuk dialami dan lepaskan nanti dengan cara yang sehat. Kita mungkin memilih untuk mengungkapkan kemarahan ini dengan berteriak di kamar kita atau melakukan olahraga yang memicu kemarahan secara intens, atau melakukan katarsis menggunakan metode neuro graphica art. Apa pun masalahnya, berhati-hatilah dalam menekan emosi kita. Ada garis tipis antara menunda emosi kita secara sadar dan menekannya secara tidak sadar – inilah mengapa sangat penting untuk mempraktikkan tip kesadaran diri yang telah saya sebutkan di artikel ini.

 

Thank you & I love you!